Jumat, 30 Maret 2007

Pagi yang Indah

Pagi-pagi sekali. Matahari saja masih malu-malu untuk menampakan hidungnya (memangnya matahari punya hidung?). Jam kaleng bulat dengan topi bulat di atas kiri dan kanan saja belum bangun, hanya terdengar bunyi tak… tik… tuk. Di atas tempat tidur nan empuk, wuu, terlihat sesosok manusia tertidur pulas. Rambut dan bajunya berantakan, mulutnya menganga, liurnya keluar, sehingga tercipta pulau-pulau nan bau di atas bantalnya. Kaki di atas selimut yang menutupi bantal dengan kepala di ranjang sebelah bawah. Jam kaleng menyorot jam empat lebih lima puluh sembilan pagi.

Satu menit berlalu. Tiba-tiba, “Kriiiiiiing…….!!!”. Jam lima tepat. Bunyinya kemana-mana. Bahkan ayam betina yang ada di belakang rumah saja sempat histeris sewaktu pertama kali mendengar bunyi ramai itu.

Gedubrak! Eh, bunyi apa tuh? Ya ampun, si manusia terjatuh dari ranjang dengan kepala terlebih dahulu. Kelihatannya benjol.

“Suara apa itu?” terdengar suara dari dapur di luar kamar.

“Selimut jatuh!” kata si kepala benjol.

“Suara apa itu?” terdengar suara dari dapur di luar kamar.

“Selimut jatuh!” kata si kepala benjol.

“Kok keras?”

“Saya ada di dalamnya!!”

Jam lima lebih seperempat pagi. Matahari sudah tidak malu-malu lagi bersinar karena sudah jam tugasnya. Dia sorotkan sinarnya ke bumi kuat-kuat biar terang. Sekarang si kepala benjol membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Biar udara bisa bertukar. Biar udara pagi yang sejuk bisa masuk kamar. Nanti akan dihirup banyak-banyak. Ah… segar sekali.

Dia melihat burung-burung yang melesat di udara. “Dan saya harus secepatnya melesat ke kamar mandi… “

Eh, tunggu dulu. Bukankah si kepala benjol kepalanya benjol? Tapi kok dia cuek bebek? Malah bersiul-siul melenggang ke kamar mandi? Tapi pa yang terjadi setelah dirinya masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.

“Adaaaoooooooo… kepalaku, sakiiiiiit!!!” si kepala benjol meraung keras.

“Eh, ngapain kamu teriak-teriak?” terdengar lagi suara dari dapur di luar kamar mandi.

“Nggak ngapa-ngapain. Cuma latihan teriak!!!” jawabnya kencang.

Hihihi ternyata dia malu ‘kali kepada ibunya yang ada di dapur kalau jatuh dari tempat tidur. Jadi teriaknya setelah keluar kamar.

Byur, byur, byur! Terdengar suara jebar-jebur dari kamar mandi. Semangat. Mandi memang perlu semangat. Airnya terlempar ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Sampai-sampai baju yang ada di gantungan baju saja basah.

“Wah! Bajuku basah,” katanya setelah mandi. Walau begitu tetap saja dipakai.

Sekarang si kepala benjol menuju ke kamarnya.

Mau tahu siapakah si kepala benjol? Kita lihat seminggu yang lalu ketika si kepala benjol terlambat datang ke sekolah.

“Siapa namamu?” tanya guru piket.

“Ciplus, pak!” oh ternyata namanya Ciplus.

“Kenapa kamu terlambat?”

“Anu, bisnya jual mahal, tidak mau berhenti di perempatan, pak!”

“Dimana kamu mencegat bis?”

“Di pertigaan, pak!”

“Tentu saja tidak berhenti, tidak ada yang mencegat. Ini surat masuknya setelah tanda tangan, cepat pergi ke kelas!!”

Kata dia, gampang kok mengenalinya. Bila kamu jalan-jalan, kemudian bertemu remaja bertubuh kurus dan rada tinggi dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Ciplus”, nah berarti dia itu Ciplus.

Ya, dia itu anak yang jujur. Tidak pernah mengaku Caca, Cucu, ataupun Coco. Dia cukup bangga kok dengan namanya yang hanya secomot itu. “Nama esklusif. Tidak ada bandingannya,” katanya suatu hari.

Dia cukup ngetop, loh! Serius. Kalau kamu kebetulan manpir di rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang serumah pada tahu semua. Itu ‘kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya… diantara orang seisi rumahnya.

*****

Jam setengah tujuh pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah pergi dari rumah berpakaian seragam silat, eh ngaco maksudnya sulap, hihi, maksudnya seragam sekolah abu-abu putih, dia berbengong ria di pertigaan ujung jalan. Bis-bis pada jam seperti itu biasanya sarat penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekedar berhenti di pertigaan itu guna menjemput Ciplus. Walhasil, Ciplus sering kedapatan berlarian mengejar bis yang berhenti agak jauh dari situ. Juga sering kedapatan berlarian di trotoar depan sekolahnya karena nyaris terlambat menjangkahkan kakinya di gerbang sekolah.

Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti TKI yang lain, Ciplus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan lari dalam rangka mengejar bis menuju sekolah. Lumayan Ciplus bisa manyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis berwajah manis berseragam sekolah. Dan ini salah satu-satunya nikmat yang di berikan Tuhan kepada orang-orang seperti Ciplus. Hanya pada saat itu Ciplus berani menyentuh cewek.

Bis berbelok di tikungan, penumpang miring ke kanan. Kesempatan itu digunakan Ciplus memulai berkomunikasi dengan cewek itu. Dia menginjak kaki cewek itu. Walau kata orang banyak cara memulai komunikasi tapi cara itu yang digunakan oleh Ciplus.

“Eh, maaf ya. Nggak sengaja. Abis bisnya goyang-goyang, sih. Sakit ya?”. Ekspresi Ciplus benar-benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan. Pintar dia, sebab ikut ektra teater, kok.

“Nggak. Nggak sakit. Injak saja terus!” sahut cewek itu dingin. Ciplus kaget berkat sandiwaranya yang kurang sempurna, dia sampai lupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.

“Eh, kamu marah, ya?” wajah Ciplus penuh penyesalan. Kali ini serius.

Gadis itu tersenyum. Ya Tuhan, ini kesempatan baik.

“Nama kamu siapa?” tanya Ciplus setelah beberapa saat membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada aneh itu. Beberapa saat dia Cuma memandang Ciplus. Ciplus jadi salah sendiri. “Dosa apa nanya begitu?” pikir Ciplus.

“Saya Tanti. Kamu siapa?” sahutnya balik bertanya.

“Saya Ciplus,” jawab Ciplus sambil mengulurkan tangan.

Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal cuaca, sekolah, sinetron, film, musik, dan makanan favorit.

Di Ngajar seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang langsung diduduki oleh Tanti. Ciplus langsung menitipkan tasnya yang besar, karena berisi baju olahraga karena nanti ada pelajaran penjaskes di sekolahnya, dan beberapa buku yang tidak termuat di dalamnya kepada Tanti. Obrolan dilanjutkan kembali.

Dia terus mengobrol sampai kelupaan turun. “Udah ya, Tan!”. Akhirnya dengan tergesa-gesa, Ciplus menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri! Mas!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sialan! Bukan dari tadi bilangnya!”.

Ciplus melompat turun sambil meledek kondektur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Dia merasa ada sesuatu yang kurang. Apa ya? Ya astaga, tas dan bukunya tertinggal di bis! Ciplus langsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal hanya kepulan debu dan derunya. Ciplus habis memaki-maki.

Menyesal dia, kenapa dia tadi nitip kepada cewek itu. Wah, rasanya ingin berteriak keras-keras. Menumpahkan kekesalan yang membludak di hatinya. Tapi situasi tidak mengizinkan. Banyak anak yang lagi jalan.

“Hei… Ciplus!!!” dari kejauhan terdengar suara cewek yang memanggil. Ciplus segera menoleh. Eh, itu Tanti sambil mengacung-acungkan tas dan buku Ciplus.

“Kamu lupa bawa ini, ya?” teriaknya lagi.

Wajah mendung Ciplus berubah menjadi cerah. “Loh, Tanti ‘kan harusnya turun di Srireja, kok dia bela-belain bawa barang-barang itu, sih?” pikirnya.

“Wah, makasih banget ya, Tan!” sahut Ciplus sambil menghampiri Tanti.

Akhirnya, Ciplus dengan setia menemani Tanti menunggu bis yang lewat berikutnya.

Sekarang jam dinding di dinding salah satu rumah di tepi jalan tempat Ciplus dan Tanti menunggu bis menunjukkan jam tujuh tepat. Bel sekolah berdering di kejauhan. Tapi Ciplus tidak peduli. Malah dia bersyukur bila bis yang berikutnya tidak datang.

Namun ternyata bis berikutnya datang. Tanti naik bis itu dan Ciplus tanpa dikomando langsung berlari ke sekolah.

Pintu gerbang sekolah sudah tertutup. Jam bulat di pergelangan tangan kanan Ciplus menyorot jam tujuh lebih seperempat. Ciplus mencoba memanjat gerbang sekolah.

Dia terlihat oleh satpam dan digiring menuju ruang guru. Ciplus bertemu dengan guru piket.

“Ciplus, kenapa kamu terlambat lagi?” tanya guru piket.

“Anu, seperti biasa, pak!!” ujar Ciplus sambil cengar-cengir.

Kesamben, 10 Desember 2006

Rembulan Mimpi

Cahaya rembulan redup

Kelabu bersinar

Laksana tak hidup

Wajahnya memar


Rembulan, rembulan

Berdiri tegap di sana

Berdiri sendiri tenang

Tutupi kilatan bintang


Rembulan...

Apakah tahu engkau

Kerisauan hatiku

Kecemasan diriku


Aku berlari di kegelapan

Berlari sendirian

Mencari yang tiada pasti

Pendobrak resah ini


Aku mencari...

Aku mencari..

Mencari...

Mencari...


Hai rembulan...

Lihatlah diriku ini

Aku berlari mengejar mimpi

Mimpi selangit tinggi


Aku berlari mencoba lebih

Namun aku tiada mampu lagi

Berhenti, jatuh diri ini

Halang segala asa diri


Rembulan...

Ingin aku menggapaimu

Agar mampu aku ini

Meraih mimpiku selangit tinggi


Klemunan, Selasa Pon 27 Maret 2007

Rabu, 28 Maret 2007

Panas

Kutatap matahari bersinar
Sinarnya terik menyengat badan
kupalingkan mata dari matahari
Kulihat hamparan gersang tanpa air

Pohon-pohon tanpa akar
Rumput-rumput tinggal tanah
Yang tertinggal batu padas
Batu padas tepi jalan panas

Ku berjalan dan terus berjalan
Ku coba menikmati yang ada
Tapi, apa yang dapat ku nikmati
Hanyalah lahan tandus tanpa arti

Dulu ku teringat...
Di kiriku deretan hijau nan indah
Dulu ku teringat..
Di kananku sungai jernih beriak

Tapi kini...
Hanyalah hamparan debu
Debu penutup hati
Hati perusak alam

Sungai kering
Pohon musnah
Hewan punah
Tanah merekah

Aku berjalan
Berjalan menyusuri jalan
Jalan yang panas
Menuju kampung halaman

Selasa, 27 Maret 2007

Botol Kosong

Botol kosong di pojok jendela

di gubuk kecil di tengah hutan

Memandangi awan putih di angkasa

Sepertinya si botol ingin terbang bebas

Bersama angin di luar sana


Namun apa daya…

Si botol bersama kawannya

Mereka tidak berdaya

Tak mampu bergerak

Terbelenggu kesengsaraan


Botol kosong di pojok jendela

Botol kosong bersama kawannya

Mereka tidak mampu bergerak

Terlalu gendut untuk berjalan

Karena terlalu kenyang akan kebohongan


Botol kosong dan kawannya

Mereka diam membisu

Mereka tak bersuara

Tapi ingin bersuara


Mereka sangat ingin bersuara

Bersuara tentang kerusakan

yang terjadi di depannya

Kepada siapapun yang mendengar


Mereka ingin bersuara

“Pohon-pohon menghilang… “

“Hewan-hewan musnah… “

“Ku merasa panas saat kemarau… “

“Ku merasa dingin saat hujan… “


Botol kosong di pojok jendela

Botol kosong bersama kawannya

Di pagi mereka berair mata dingin

Melihat kerusakan ini